Mengejar Marmut Merah Jambu #part 2 (gagal)
Catatan ini seharusnya dibuat ketika hari
minggu tanggal 11 Mei gue berakhir, tapi gue baru nulis ini sekarang (read: 16
Mei). Entah ini bisa dikatakan basi atau tidak, gue masih mau menceritakan
kelanjutan dari perburuan gue.
Semua berawal dari acara meet and greet Marmut Merah Jambu yang
menguras emosi dan tenaga di Mega Bekasi kala itu. Gue (sebagai yang terijak,
terdorong, terjepit, ter-tidak beruntung) memutuskan untuk mencari peluang
bertemu dengan para manusia yang disebut “artis” itu di lokasi meet and greet lainnya. Lo pasti bilang
kalo gue kurang kerjaan kan? GUE RASA.... IYA JUGA.
Jadi beginilah cerita gue, Mengejar
Marmut Merah Jambu #part2
Sehari setelah tanggal 8, gue kembali
menghubungi Fitri. Kali ini, gak lagi lewat ask.fm (maksud gue, lebih dominan
lewat smsan). Melihat jadwal dari meet and greet yang Raditya Dika
berikan, gue rasa masih ada peluang buat gue mengejar mereka sampai Blok M. “Sepertinya
tidak jauh” ujar gue saat itu dengan kepala mungkin habis terbentur tiang
listrik (rada error)
Gue kembali ngajak Fitri buat berkelana
karena Fitri pernah bilang kalau rumah dia deket sama Blok M. Okelah, gue
janjian sama dia buat ketemuan di halte Busway Harmoni. Karena nama itu tidak
asing bagi gue, gue pun gak khawatir sama sekali.
Belakangan ini gue ngerasa hari-hari datang lebih cepat dan ditiap hari senin, gue akan tryout sbmptn. (jalani saja)
Gue kelar jam 11 dan tanpa
kompromi, gue langsung bergegas ke halte busway Prumnas Klender buat naik
busway (plis deh, pake dijelasin). Ini kali pertamanya gue naik Busway
sendirian. I feel so lonely~. Gak ada
temen ngobrol adalah hal paling membuat mood
jatuh saat menunggu kedatangan Busway yang begitu lama. Busway pun datang, gue
masuk, dan gak dapet tempat duduk. Gue melaju sampai Kampung Melayu berdiri
memeluk tiang.
menunggu di halte, sendiriaaandhhh |
Sesampainya di Kampung Melayu, gue
kabarin Fitri kalo gue udah mau on
the way ke Harmoni. Gue pun berdiri
di pintu yang menunjukkan arah tujuan ke Harmoni. Panas, rame, dan buswaynya
lama banget datengnya. BENER-BENER LAMA. Busway tiba dengan perawakan
butut-nya. Gue gak tau, kenapa sih ada diskriminasi pada bus-bus ini. Sekalinya
bagus, bagus banget, sekalinya butut, butut mampus. Gue masuk dengan penuh
usaha, dan luar biasa desek-desekannya itu loh. Gue berebut tempat dengan
beberapa karyawan kantoran yang mau berangkat kerja. Gue masuk, dan gak dapet
pegangan. Gue pun mengetes keseimbangan tubuh gue disana *halah.
Halte harmoni ternyata gak sedekat yang
gue kira. SAMA SEKALI TIDAK. Keadaan dalam bus yang sumpek dan pengap makin
memperpanjang durasi perjalanan. Otot bisep dan trisep gue silih bergantian
berkontraksi, gue pun kehilangan banyak ATP. (ngomongin apa sih lu?)
Setelah menempuh perjalanan yang
memperebutkan oksigen itu, gue tiba di Halte Harmoni sekitar jam 1 siang. Gila!
Dari Lampiri ke Harmoni gue butuh berapa lama? (itung sendiri). Keadaan Halte
Harmoni kala itu masih sepi. Banyak orang lalu lalang tapi segera hilang saat
busway lain datang. Gue pun sms Fitri, “udah dimana lau?” dan ternyata Fitri
baru mau naik busway. *gubrak
Gue pun menunggu dia sambil sok-sok-an
ngerjain problem set (buku soal khas
NF). Oke, itu cuma buat bergayaan doang supaya diliat orang-orang, “idiiih ni
anak rajin bener. Di halte busway masih belajar!”, dan sepertinya sukses karena
gue liat setiap orang yang lalu lalang di depan gue selalu sekilas ngeliat gue
dengan tatapan “anjiiiir. Rajin banget“ wkwk. Cukup lama gue menunggu Fitri,
dari yang semangat sampe ke hopeless
apalagi jam menunjukkan pukul dua kurang.
Bergaya anak rajin. Gapapalah gaya dulu, sekali-kali |
Fitri tiba. AKHIRNYA!!. Jam menunjukkan
pukul 2 lewat. Acara meet and greet
yang tadinya menjadi tujuan awal gue seakan pupus sudah (ket: acaranya selesai
jam 14.30). Gue (kali ini udah bareng sama Fitri) pun menunggu busway jurusan
Blok M. Gue ternyata udah pernah naik rute ini, pas bareng bos mau ke acara gathering di Mall FX dan pas ada acara festival
Enichisai di Blok M-nya.
Perjalanan cukup jauh. Mulai dari ngelewatin Monas, Bunderan HI, GBK, dan
tibalah di halte terakhir yaitu Halte Blok M.
Keadaan gue yang udah desprate banget (karena laper, dan haus)
ditambah jam yang udah menunjukkan jam 3 kurang sedikit membuat gue gak tau
lagi apa tujuan gue buat sampai di Blok M ini. Karena tujuan awal adalah ketemu
Raditya Dika cs, Fitri pun mengantar
gue buat ke bioskop 21 Blok M Square.
Tepat dugaan gue, ketika pintu lift terbuka, keluarlah sosok-sosok anak
SMA yang memegang selembaran film Marmut Merah Jambu. Sudah fix, acaranya telah berlalu. Masih
dengan sedikit harapan kosong, kami naik ke lantai 5 tempat keberadaan bioskop
itu dan ketika pintu lift terbuka,
persis di depan pintu bioskop itu semua telah kosong. Hening. Gak ada
gerombolan manusia yang berteriak-teriak histeris. Gak ada adegan
dorong-dorongan alay. Gak ada manusia lagi di dalem bioskop itu kecuali mba-mba
penjual tiket dan security yang
selalu siaga di depan pintu. Gue
sangat........ ahhh (gak bisa di gambarkan dengan kata-kata).
Gue menoleh ke kiri. Disana ada tempat
makan ayam (maksud gue, tempat makan yang menjual ayam yang udah di goreng)
penuh dengan manusia-manusia yang sepertinya puas abis ngeliat seonggok daging
yang biasa kita sebut “artis’ itu. Beberapa dari mereka bisa gue denger
bercerita blaa blaa dan blaa.
Gue dan Fitri memutuskan buat naik ke
lantai atasnya lagi, buat sholat. Ya, kami belom sholat dzuhur, padahal udah
mau ashar. ASTAGHFIRULLAH!!
Selesai sholat dzuhur, gue langsung
sholat ashar karena adzan ashar udah berkumandang pas gue masih sholat dzuhur
(paraah). Selesai sholat, keheningan menjalar di diri gue. Perpaduan antara
capek, laper, haus dan kecewa membuat gue berfikir banyak hal. Banyak banget.
Dan pertanyaan yang paling kuat muncul adalah, “Jadi sebenarnya semua ini untuk
apa?”. Gue bertanya pada diri sendiri.
Selesai sholat, gue kembali ke lantai 5
dan Fitri ngajak gue buat nanya Pak security.
“Pak, tadi emang bener ada acara Raditya
Dika disini?” tanya Fitri.
“Iya. Tapi udah selesai. Udah pada pulang
artisnya.”
“Selesai jam berapa emangnya, Pak?” Kali
ini gue ikutan nanya.
“Jam 3 tadi baru selesai”
Oh shit
men!! Pas gue dan Fitri nyampe, berarti baru kelar? HIDUP INI MEMANG TIDAK
ADIL!
Dengan hati yang kecewa, perut yang
keroncongan, tenggorokan yang tandus, kami pun turun mencari tempat buat makan.
Gue yang gak tau seluk beluk Blok M Squre mempercayakan Fitri buat nentuin
tempat makan apa yang murah dan enak (biasalah, dompet anak sekolahan). Cukup
lama berkelana mencari tempat makan (yang sebenernya sih tersedia dimana-mana),
Fitri ngajak gue ke Blok M Plaza (sebrangnya). Mall high class yang sepi karena barang yang dijual bukan barang eceran.
anggap saja gue sebagai orang dari kampung yang baru pertama kali ke Blok M dan harus banget foto-an. |
Kami turun ke basement yang desain
interiornya sangat vintage dan unik. Basement
ini di dominasi kayu. Lantainya, dindingnya, semua kayu. Lampu yang cukup
redup membuat suasana vintage ini
makin kental apalagi keadaan bener-bener sepi, hening, krikkk kriikkk jangkrik.
Serius. Kalau merenung disana, cucok banget.
Pencarian tempat buat makan masih
berlanjut dan intinya kembalii berlabuh pada tempat makan ayam bercirikan logo
kakek-kakek (coba tebak apa itu?). Selesai mesen makanan, kita pun makan.
Selesai makan, kita pun selfie (sekali
doang). Gak kerasa, gue ngeliat jam udah sekitar jam 4 menuju setengah 5.
Padahal Fitri mau ngajak gue main ke PIM, tapi Gue gak mungkin pulang malem
karena gak berani, kalaupun pulang malem mungkin gue lebih memilih nginep dulu
di rumah Fitri terus pulang pas paginya (ket: berhubung belom ijin dan besok
ada les, gue urungkan niat itu).
anggap anda tidak membaca merek apapun dalam foto berikut. |
Alhasil perjalanan ke Blok M berakhir
sangat cepat. Bahkan gue rasa, masih lebih lama durasi perjalanannya. Gue minta
Fitri buat ngaterin gue sampai halte Harmoni lagi, hmmm semacam bertemu disana
maka harus berpisah disana haha.
Sesampainya
di Halte Harmoni (saat itu sekitar jam enam kurang) gue rasanya mau nangis
karena hopeless gak bisa pulang. Gue
gak tau harus ngegambarin pakai kalimat apa suasana Halte Harmoni saat itu.
SAMA SEKALI TIDAK BERHARMONI!!! Penuh dengan manusia tanpa barisan berarti. Gue
pulang berbarengan sama orang pulang kantor adalah HAL YANG SALAH!!
Keadaan sangat liar. Ibu-bu dan
bapak-bapak yang lelah karena kerjaan mereka di kantor seharian itu mendesak
pengen cepet-cepet naik Busway. Terjadilah dorong-dorongan alay, bedanya kali
ini gue berada di lautan manusia dewasa yang berotak bocah. Coba aja santai,
pasti gak alay dah. Gue pun ngikutin arus aja dan sampailah gue di dalam bus
yang sesak.
Dengan kesendirian gue di dalam sesaknya
Busway, gue kembali merenung. Pertanyaan sama kembali muncul di pikiran gue.
“Jadi sebenarnya semua ini untuk apa?”.
Perjalanan pulang berlanjut, gue pun
berganti Busway jurusan terakhir. Jam menunjukkan jam 7 lewat. Otot kaki gue
udah kewalahan menopang diri gue yang ‘cukup’ berat ini seharian. Gue melihat
keluar jendela. Saat itu, kereta lewat. Keadaan sesak juga terlihat di
dalamnya.
Busway
penuh
Kereta
penuh
Angkot
penuh
Semua
penuh
Satu-satunya
yang kosong hanyalah hati gue
Gue menulis sebuah note seperti itu. Haha. Gue jadi
inget perkataan gue beberapa saat yang lalu, dimana gue butuh sendirian,
menjauh dari peradaban. Padahal gue tau, sendiri itu menyakitkan, dan kini gue
rasakan apa arti kesepian itu.
“Terkadang kita diberi rasa sepi dalam kesendirian supaya kita sadar betapa berharganya sebuah kebersamaan” –gue
“Jadi sebenarnya semua ini untuk apa?”. Pertanyaan
itu kembali muncul.
Gue mendapatkan pelajaran psikologis lagi
hari ini. Gue kembali mengorek alasan demi alasan, sebab demi sebab yang
mendasari gue melakukan semua kegiatan di hari ini.
Tanggal 8 Mei kemarin menjadi dasar dari
gue malanjutkan perjalanan gue di tanggal 11 Mei ini. Berawal dari keinginan
gue untuk bertemu sosok “artis” (yang sebenarnya bersosok manusia seperti gue),
melihat mereka dari kejauhan, berteriak
histeris sampe pita suara nyaris putus, saling dorong-dorongan karena mau
salaman atau mau ngeliat muka mereka dari deket, memoto dari jauh yang bahkan
artisnya itu entah sadar atau gak sadar dengan segala aksi gue (dan fans
lainnya).
Mungkin hal gila itu pernah gue rasakan
ketika gue nekat mencoba untuk merasakan sensasi nonton konser Kpop (read:
Showcase B1A4) dulu yang kisahnya nyaris sebelas-duabelas sama kejadian meet and greet tanggal 8 itu. Gue jadi
inget selesai gue nonton konser itu, ibu gue gak bicara sama gue selama 2 hari
(karena marah).
Semua itu gue lakukan dengan alasan
mencari kebahagiaan. Alasan yang aneh
dan sebenarnya jauh dari kenyataan. Bagaimana bila alasan mencari kebahagiaan
justru membuat kita tidak bahagia setelah menggapainya.
Maksud gue gini. Dari kedua (atau
beberapa) kejadian yang udah gue alami,
gue sadar kalau semua itu sebenarnya gak (juga) mendatangkan kebahagiaan bagi
gue. Seperti misalnya ketika gue nonton konser B1A4, gue malah nyesel (walaupun
seneng dapet pengalaman) nyokap gue jadi marah ke gue, dan ketika gue dateng ke
meet and greet MMJ di Mega Bekasi,
gue malah kecewa gak bisa punya peluang jadi fans yang beruntung (semacam dapet goodies atau album gitulah).
Semua perjalanan mencari kebahagian itu
hanya menyisakan rasa kecewa dan gak puas pada diri gue karena gak seindah yang
dibayangkan. Rasa kecewa itulah yang membawa gue melakukan perburuan MMJ part kedua
ini dan yang berakhir justru lebih tragis nan menyedihkan. Rasa kurang puas,
rasa penasaran semua itu menjadi satu. Mungkin terkesan serakah, “ah kan elu
udah ketemu mereka di Mega Bekasi, Nur!”. Memang iya, tapi gue gak puas. Manusia,
kapan sih puas? (-.-)
Disaat itulah gue sadar akan perbedaan
artis dengan manusia biasa (kayak gue ini). Artis ngomong sedikit, fans
histeris. Ketemu artis, fans histeris. Ngeliat artis, fans histeris. Artis ngeposting foto, fans histeris. Artis bales
mention elo, lo histeris, di screen cap,
di favorite, di retweet, di segala-galanya. Lah kalau manusia biasa, apalah arti
itu semua.
Seiring berjalannya waktu, gue semakin
memikirkan kembali apa-apa yang udah gue lakukan. Apakah gue udah membuang
waktu gue untuk hal yang sia-sia? Apakah gue udah terlalu banyak tertawa? Apakah
gue terlalu merendahkan martabat diri gue sendiri dengan rela mengejar artis
kemanapun mereka pergi? Ya. Mungkin itu semua udah gue lakukan, dan sepertinya
gue akan mulai mengurangi hal-hal gak berguna itu.
Mencari kebahagiaan. Kalau itu memang
alasannya, lantas ketika hal yang disebut “membahagiakan” tidak lagi memberi
rasa bahagia haruslah ditinggalkan.
Berhenti bertingkah bodoh dan alay NUR!! Haha.
“Menurut gue, elu alay tau gak!” –Fitri
(ternyata gue bener-bener alay! Arghhh)
Selama perjalanan pulang, Fitri ngasih
gue ide.
“Gimana kalau kita ngadain traveling keliling Jakarta? Maksud gue,
disaat orang lain ngebahas selalu tentang ke-jelekkan kota Jakarta, kenapa gak
kita coba buat ngebahas hal baik dari Jakarta?” –Fitri
Sepertinya menarik. Mungkin akan gue coba
setelah beban pikiran gue hilang (read: dinyatakan lulus dan dapet PTN). Gak perlu
terburu-buru dan terlalu dipaksakan. Apa yang dipaksakan pasti berujung tidak
menyenangkan. Masih ada banyak waktu
berharga.
So,
see you next time dengan kisah lebih berbobot.
BONUS FOTO.
yang gak berhasil gue temui diperburuan kali ini. (nangis gak yaaa?)
0 comments